Keadilan bagi Hewan: Ketika Hukum Tidak Seimbang
Di Indonesia, penegakan hukum terhadap penganiayaan hewan sering kali menimbulkan ketidakadilan yang mencolok. Contohnya, seorang petani miskin di Bali dihukum karena memelihara Landak Jawa, sementara seorang residivis yang membacok anjing hingga mati hanya dijatuhi hukuman ringan.
Keadilan seharusnya berlaku untuk semua, termasuk bagi makhluk hidup tak bersuara seperti hewan. Namun, praktiknya di Indonesia masih jauh dari harapan. Seorang petani di Bali dihukum karena memelihara Landak Jawa, seekor satwa dilindungi, dengan ancaman 5 tahun penjara. Di Malang, seorang kakek dituntut 5 bulan penjara karena memelihara ikan aligator. Sementara itu, di Solo, seorang residivis yang membacok anjing bernama Lato hingga mati, hanya dituntut 3 bulan penjara.
Ketimpangan ini mencerminkan masalah struktural dalam penegakan hukum kita. Salah satu penyebab utamanya adalah belum adanya regulasi khusus yang komprehensif mengenai perlindungan hewan. Pasal 302 KUHP yang digunakan saat ini hanya mengatur secara umum dan ancaman hukumannya sangat ringan. Aparat penegak hukum pun sering kali tidak memiliki perspektif kesejahteraan hewan, sehingga vonis terasa tidak setimpal.
Di sisi lain, minimnya edukasi dan sosialisasi hukum membuat masyarakat awam—seperti petani dan orang tua di pedesaan—mudah terjerat hukum tanpa memahami perbuatannya melanggar. Ini ironis ketika pelaku kekerasan hewan yang nyata-nyata kejam justru lolos dengan hukuman ringan hanya karena kasusnya tak viral.
Penegakan hukum tanpa keadilan sosial hanya akan menambah penderitaan. Kita butuh undang-undang perlindungan hewan yang tegas, berpihak, dan berkeadilan. Bukan hanya untuk Lato, tapi untuk semua makhluk hidup yang berhak hidup tanpa kekerasan.
Comments
Post a Comment